DALAM beberapa tahun terakhir ini, fakta menunjukkan bahwa telah terjadi banyak penyimpangan perilaku warga masyarakat terhadap nilai-nilai luhur. Misalnya, sikap mementingkan diri sendiri, menghalalkan berbagai cara untuk mencapai suatu tujuan termasuk di dalamnya korupsi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang sangat merugikan negara. Pembunuhan, penculikan, perampokan, pencurian, perusakan alam, pelecehan seksual juga marak terjadi sebagaimana diberitakan dalam media cetak maupun media elektronik.
Para elit politik dan public figure termasuk guru pun sering kali mempertontonkan perilaku yang tidak santun dan tidak mendidik. Masih segar dalam ingatan kita, ada guru yang notabene sebagai sosok yang “digugu dan ditiru”, yang seharusnya melindungi, mendidik, mengayomi, dan menjadi suluh bagi peserta didik justru melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu pelecehan seksual yang jelas menyimpang dari “roh” pendidikan. Pendidikan yang seharusnya membebaskan justru membelenggu, menekan, bahkan mematikan masa depan peserta didik. Sementara itu, di kalangan peserta didik sendiri juga tidak jarang terjadi tawuran massal serta bentuk-bentuk kekerasan yang lain antar peserta didik seperti pembulian, ancaman, umpatan, tekanan dan bentuk-bentuk kekerasan verbal yang lain.
Permasalahan-permasalahan di atas menunjukkan bahwa telah banyak manusia yang hati nuraninya tumpul sehingga kehilangan kepekaan normatif yang menyangkut makna nilai dan tata nilai. Banyak manusia yang telah jauh dari Tuhan, manusia yang jauh dari sesamanya, manusia yang jauh dari alam lingkungan sekitarnya, bahkan manusia yang jauh dengan dirinya sendiri karena memang tidak tahu jati dirinya. Banyak manusia yang beragama tetapi tidak menjalankan norma-norma agama dengan baik dan benar tetapi justru terkungkung oleh fanatisme sempit. Banyak manusia yang mengetahui tentang kebaikan tetapi sedikit yang melakukan kebaikan. Inilah yang disebut dehumanisasi. Krisis moral telah menjadi persoalan akut atau penyakit kronis yang menggerogoti seluruh lapisan masyarakat kita.
Mungkinkah dunia pendidikan kita telah mengalami mengalami overcognitif? Dengan kata lain, mungkinkah taksonomi Bloom yang mengedepankan keseimbangan antara ranah kognitif, ranah afektif dan psikomotor belum menunjukkan hasil yang optimal? Praktik pendidikan yang overcognitif itu menjadikan peserta didik untuk “memiliki” bukan menjadi”, yaitu memiliki banyak pengetahuan tetapi miskin implementasi. Mestinya proses pendidikan terarah agar peserta didik menjadi dirinya sendiri, menjadi insan yang bisa menyukuri bahwa ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan, dan menjadi insan yang mampu mengimplementasikan ilmu pengetahuannya untuk sesama dan terpeliharanya alam semesta. Proses pendidikan harus diarahkan pada internalisasi nilai-nilai, menyemaikan dan menumbuh-kembangkan nilai-nilai keutamaan sehingga teraktualisasi dalam perilaku hidup peserta didik.
Salah satu ranah yang tidak boleh dilupakan dalam proses pendidikan adalah “kemauan”, yaitu kemauan yang tumbuh dari dalam peserta didik. Kalau hal ini diabaikan maka yang akan terjadi adalah banyak orang yang “mengetahui tentang kebaikan” tetapi tidak banyak yang “mau melakukan kebaikan yang mereka ketahui”. Kemauannya kurang terbangun, nuraninya kurang terasah sehingga hati nurani menjadi tumpul.
Pentingnya Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sebetulnya telah dilakukan sepanjang hayat, hanya saja penekanannya kadang-kadang masih kurang. Sejak bangsa Indonesia ini berdiri, karakter selalu didengungkan oleh para founding fathers. Ir. Soekarno presiden pertama RI selalu menekankan nation and character building dalam rangka membentuk manusia sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila. Pada masa orde baru, gencar dilaksanakan penataran P4 yang bertujuan untuk membentuk para generasi muda menjadi insan yang selalu menghayati dan mengamalkan Pancasila. Lepas dari permasalahan metode penataran yang tidak baik, yang berbau indoktrinasi, yang pasti tujuannya sangat baik yaitu mempertahankan generasi yang berjiwa Pancasilais.
Pada masa reformasi, kran kebebasan bagi masyarakat terbuka lebar. Kehidupan berdemokrasi tumbuh dengan baik, namun sangat disayangkan karena akhirnya terjadi sebuah ‘reformasi yang kebablasan”. Setiap warga negara bebas menyampaikan pendapat, bebas menyampaikan kritikan, dan bebas dalam menyatakan sikap tetapi tidak dibarengi dengan pemaknaan mendalam mengenai sopan santun dan etika. Dan, virus ini mudah sekali menyeruak rata ke seluruh lapisan masyarakat. Nilai-nilai keutamaan yang seyogyanya melekat erat dalam benak setiap warga negara Indonesia semakin terkikis habis sehingga melahirkan apa yang disebut dengan “krisis moral” berkepanjangan. Oleh karena itu revitalisasi pendidikan karakter mutlak harus dilakukan agar bangsa ini kembali menjadi bangsa yang berbudaya, luhur dan tinggi budi pekertinya.
Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud No. 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Implementasi gerakan PBP ditujukan untuk menjadikan sekolah sebagai “taman” untuk menumbuhkan karakter-karakter positif bagi peserta didik melalui kegiatan non kurikuler. Kegiatan non kurikuler yang dicanangkan adalah internalisasi nilai moral dan spiritual dan kebiasaan baik seperti berdoa sebelum belajar, melakukan upacara bendera, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, atau menyanyikan lagu bernuansa patriotik kontemporer. Selain itu, peserta didik menyanyikan lagu-lagu daerah untuk mengekspresikan cinta tanah air sebelum mulai pembelajaran dan sebelum mengakhiri pembelajaran.
Pertanyaannya, semangat dan suasana sekolah yang seperti apa yang mesti dilakukan agar menjadi taman pendidikan yang hidup, menarik dan ngangeni bagi peserta didik? Guru hendaklah selalu tampil prima, baik dari sisi rohani maupun jasmani. Guru tidak perlu menampilkan diri sebagai orang yang bergaya penatar, instruktor, komandan, birokrat, atau raja yang selalu ditakuti. Sementara itu anak didik harus dipandang sebagai anak yang secara kodrati sedang dalam taraf perkembangan dan wajib untuk dibimbing, dilindungi, dan diberikan kasih sayang. Anak bukanlah seorang “dewasa mini atau prajurit kecil” yang bisa diperlakukan selayaknya orang dewasa.
Sinergi antara Sekolah, Orang tua, dan Masyarakat
Untuk mewujudnyatakan terciptanya anak-anak yang berkarakter bukanlah pekerjaan yang mudah, semudah membalik telapak tangan mengingat tantangan yang semakin berat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Sinergi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat harus seiring dan sejalan. Orang tua tidak boleh hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak hanya pada sekolah. Sekolah adalah parner orang tua sedangakan orang tua adalah pendidik utama dan pertama. Tokoh-tokoh masyarakat dan agama harus memberikan teladan yang baik. Mengapa demikian? Karena anak-anak membutuhkan keteladanan di mana pun. Di sekolah, di rumah, di tempat-tempat umum dan di tempat ibadah.
Pendidikan karakter tidak bisa diajarkan secara eksplisit dengan memberikan petuah dan nasihat saja tetapi perlu diajarkan secara implisit melalui keteladanan. Dan itulah sebetulnya yang lebih mengakar dan mengena dalam benak anak. Tidak perlu banyak nasihat tetapi cukup diberi keteladanan. (Step)